Dari Kampus ke Ruang Redaksi: Suara Mahasiswa Jadi Oksigen Baru Jurnalisme Indonesia BERITA365

[BERITA365]

JAKARTA | PortalindonesiaNews.Net – Di tengah badai disrupsi media sosial, tekanan bisnis, dan banjir informasi palsu, dunia jurnalisme Indonesia tengah mencari napas baru. Di saat kredibilitas media kerap dipertanyakan, muncul energi segar yang tak terduga dari ruang-ruang kampus: mahasiswa.

Pers mahasiswa kini tak lagi sekadar “media latihan” atau “tempat menulis berita kampus”. Mereka hadir sebagai penyuntik idealisme dan otentisitas, menghadirkan kembali semangat awal jurnalisme: menulis untuk kebenaran, bukan untuk pesanan.

Suara yang Datang dari Dalam Luka

Berbeda dengan jurnalis profesional yang sering kali berada di luar lingkar masalah, jurnalis mahasiswa menulis dari dalam realitas yang mereka alami. Mereka hidup bersama isu yang mereka tulis — mahalnya UKT, kesenjangan sosial, krisis lingkungan lokal, hingga kesehatan mental di kampus.

“Ketika kami menulis tentang ketidakadilan kampus, itu bukan sekadar liputan. Itu jeritan kami sendiri,” ujar salah satu redaktur pers mahasiswa di Yogyakarta yang enggan disebutkan namanya.

Dari pengalaman itulah, lahir laporan-laporan jujur, menggigit, dan berani—sesuatu yang semakin jarang dijumpai di media arus utama yang mulai terjerat kepentingan korporasi atau politik.

Melawan Narasi Tunggal

Mahasiswa jurnalis kerap menjadi “penjaga gerbang terakhir” dari kemandirian informasi. Mereka berani menggugat kebijakan rektorat, mempersoalkan proyek-proyek kampus yang janggal, hingga mengangkat isu nasional yang luput dari radar media besar.

Keberanian itu menjadi alarm bagi publik: bahwa demokrasi sejati hanya hidup ketika kritik tak dimatikan, bahkan di ruang-ruang akademik.

Namun, keberanian ini sering berbayar mahal. Tidak sedikit pers mahasiswa yang dibredel, situsnya diblokir, atau anggotanya mendapat sanksi akademik hanya karena menulis berita yang dianggap “mengganggu kenyamanan kampus”.

Antara Idealisme dan Ancaman

Tantangan terbesar jurnalis mahasiswa bukan hanya soal dana dan fasilitas yang terbatas, tapi minimnya perlindungan hukum.

Ketika jurnalis profesional dilindungi oleh Undang-Undang Pers, jurnalis mahasiswa sering kali dibiarkan berjalan sendiri di medan rawan.

“Bayangkan, kami bisa dihukum hanya karena menulis fakta,” kata seorang kontributor pers mahasiswa di Jawa Tengah.

Situasi ini menuntut Dewan Pers dan pemerintah untuk mulai menata regulasi yang memberi perlindungan setara bagi jurnalis muda di lingkungan pendidikan.

Sebab, idealisme mereka adalah aset bangsa, bukan ancaman.

Tantangan di Era Viral

Sebagai generasi digital, jurnalis mahasiswa juga menghadapi dilema baru: antara menjadi viral atau tetap kredibel.

Godaan algoritma media sosial bisa membuat idealisme terkikis, jika mereka tidak berpegang pada prinsip verifikasi dan keberimbangan.

Namun di sisi lain, kedekatan mereka dengan media sosial juga menjadi kekuatan.

Mereka memahami bagaimana membangun narasi yang menarik tanpa kehilangan integritas — sesuatu yang sering gagal dilakukan oleh media konvensional yang kehilangan sentuhan personal.

Redaksi Harus Membuka Pintu

Fenomena ini seharusnya dibaca bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang regenerasi jurnalisme Indonesia.

Ruang redaksi profesional perlu membuka diri, membangun kolaborasi dengan jurnalis kampus, dan menyediakan mentorship agar semangat muda ini tumbuh dengan arah yang benar.

Jurnalisme mahasiswa bukan sekadar latihan. Ia adalah cermin masa depan media Indonesia — masa depan yang lebih jujur, independen, dan berpihak pada kepentingan publik.

Karena pada akhirnya, suara mahasiswa hari ini adalah oksigen bagi jurnalisme Indonesia esok.

Tanpa mereka, mungkin pers kita akan terus hidup — tapi hanya sebagai tubuh tanpa napas.

Red/John